Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto pun memastikan kenaikan suhu bukan merupakan efek dari teknologi modifikasi cuaca yang diterapkan awal tahun 2020.
"Tidak ada (efek dari teknologi modifikasi cuaca). Ini hal normal terjadi jelang musim kemarau," kata Siswanto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (24/4).
Lebih lanjut, Siswanto menegaskan peningkatan suhu panas di beberapa daerah di Indonesia bersifat siklus. Artinya, terjadi secara berulang. Untuk masyarakat yang tinggal di DKI Jakarta, suhu terasa panas pada siang hari terutama pada bulan April-Mei lalu kembali berulang pada Oktober-November.
Nantinya, suhu akan menurun pada bulan Desember 2020 sampai Maret 2021. Kemudian akan berulang di periode berikutnya.
Sementara bagi masyarakat yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah kata Siswanto ada sedikit perbedaan pola kenaikan suhu panas secara gradual (sedikit demi sedikit atau bertingkat).
"Suhu maksimum (siang hari) di Semarang agak berbeda sedikit polanya, di mana secara gradual naik mulai April hingga puncaknya di September-Oktober nanti," tutur Siswanto.
Sebelumnya, BMKG telah menyebutkan beberapa faktor cuaca terik dan gerah yang terasa seperti suhu udara yang tinggi dan kelembapan udara yang rendah.Suhu dan kelembaban tinggi ini terutama terjadi pada kondisi langit cerah dan kurangnya awan. Sebab, pancaran sinar matahari langsung lebih banyak diteruskan ke permukaan Bumi.
"Namun fenomena suhu udara tinggi yang terjadi saat ini tampaknya lebih dikontrol oleh pengaruh posisi gerak semu matahari dan mulai bertiupnya angin monsun kering dari benua Australia," tulis Deputi Bidang Klimatologi, Herizal dikutip dari keterangan rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (23/4).
Perubahan musim ini berdampak pada kurangnya tutupan awan di atas wilayah Indonesia, sehingga sinar matahari langsung mencapai permukaan bumi tanpa adanya penghalang awan. (din/eks)
No comments:
Post a Comment