Friday, April 24, 2020

Ahli Epidemiologi Ungkap Waktu Ideal PSBB Corona RI Dicabut

Jakarta, CNN Indonesia -- Epidemiolog Dicky Budiman menyatakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia tidak bisa dilakukan secara asal. Menurutnya, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar penularan Covid-19 bisa dikendalikan.

"Kalau nanti PSBB diangkat (dihentikan), kita harus punya kriteria," ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com, Rabu (23/4).

Dicky mengatakan indikator utama jika PSBB hendak dihentikan jika cakupan tes Covid-19 sudah meningkat dan proporsional, misalnya 10 ribu tes sehari di Jakarta selama sebulan. Kemudian, dia berkata pelacakan kasus kontak dengan pasien positif sudah mencapai 90 persen.


"Harusnya 100 persen, tapi 90 persen oke lah. Tidak boleh di bawah 90 persen," ujarnya. 
Selanjutnya, Dicky berkata isolasi hasil pelacakan kontak menjadi indikator lain jika ingin mencabut PSBB. Misalnya, dia berkata orang yang kontak dengan kasus positif diisolasi pada satu wilayah untuk menjamin mendapatkan dukungan dari pemerintah.

"Orang kontak ini kan ada yang secara sosial ekonomi dia rawan kan. Tidak semuanya orang mampu. Kan penyakit ini tidak ada pilih orang kaya atau miskin," ujar Dicky. 

"Ketika DKI memiliki kebijakan isolasi central itu akan sangat bagus. Sehingga semua yang kontak tracing bisa dikendalikan selama beberapa waktu," ujarnya. 

Kemudian, Dicky mengatakan pemerintah harus mengukur kepatuhan masyarakat dalam menjaga jarak fisik dan sosial jika PSBB hendak dicabut. Jika patuh, dia berkata jaga jarak itu akan berjalan dengan sendirinya hingga penyakit bisa ditangani sepenuhnya.

"Penyakit ini harus dipahami masih lama. Dan kita belum tahu sampai kapan. Memang saya dalam beberapa kesempatan mengatakan enam bulan, tapi obat belum pasti enam bulan. Bisa mundur sampai akhir tahun depan. Malah satu negara dua tahun," ujar Dicky. 


Hal yang paling penting, Dicky mengatakan PSBB bisa dicabut jika fasilitas kesehatan sudah memadai. Mulai dari alat medis hingga sumber daya manusia harus menjadi fasilitas. Sebab, dia mengingatkan ada potensi gelombang lanjutan dari penularan Covid-19. 

"Jadi PSBB ini tidak bisa menghentikan potensi gelombang lanjutan. Harus dicatat itu. PSBB bukan berati aman. Gelombang kedua hanya bisa dicegah jika sekian persen populasi sudah imun atau obat sudah ada. Ini kan belum," ujarnya. 

PSBB Harus Dievaluasi

Dicky sejatinya menilai PSBB yang diterapkan di sejumlah wilayah di Indoenesia, khususnya di DKI Jakarta harus dievaluasi dengan komprehensif. Dia mengatakan evaluasi diperlukan agar PSBB di Jakarta bisa menjadi rujukan bagi daerah lain. 

"Jadi PSBB yang diterapkan kemarin sebetulnya saya nilai tidak efektif dan efisien," ujar Dicky.

Dicky mengusulkan PSBB yang sebaiknya diterapkan adalah harus yang bersifat lunak. Alasannya, dia mengatakan PSBB yang diatur dalam UU saat ini terbilang berat dari sisi dukungan. Selain itu, pemerintah diketahui saat ini dalam posisi yang tidak stabil.


"Artinya win-win solution. Jangan sampai memaksakan PSBB sesuai UU padahal yang harus didukung, populasi yang rawan itu tidak bisa semuanya didukung. Justru akan mengundang masalah lain, yang disebut efek kolateral dari Covid-19," ujarnya.

Dicky mengatakan contoh efek kolateral bisa muncul ketika daya dukung hanya 50 persen. Sisanya, dia berkata akan menimbulkan masalah sosial. Bahkan, dia berkata saat ini sejumlah kalangan masyarakat sipil sudah melaporkan adanya potensi masalah tersebut. 

"Ini yang harusnya dievaluasi terlebih dahulu. Sehingga, kalau misalnya menerapkan PSBB yang tipe lunak artinya kegiatan ekonomi yang esensial, yang menyangkut hajat hidup orang rawan itu bisa dilakukan dengan beberapa prasyarat seperti mematuhi batasan jarak dan segala macam," ujar Dicky. 

Lebih dari itu, Dicky menilai UU yang mengatur karantina wilayah sudah bagus. Namun karena UU bersifat general, dia mengingatkan implementasinya harus disesuaikan dengan situasi saat ini, terutama masyarakat.

(jps/DAL)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)

No comments:

Post a Comment