Berdasarkan data periode 1 Maret-27 April, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, Siswanto Siswanto menjelaskan pemberlakuan WFH dan PSBB telah menurunkan rata-rata konsentrasi CO2 sekitar 47 ppm atau turun 9,8 persen dibandingkan tahun 2019.
"Kalau di perhatikan grafik ini di mana CO2 pada tahun 2017 sampai 2019 pada Maret - April umumnya pada rentang konsentrasi sekitar 470 - 500 ppm. Pada periode yang sama di Maret-April tahun ini dapat turun pada kisaran 420 ppm di Jakarta," kata Siswanto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (30/4).
Siswanto mengatakan PSBB dan WFH lebih signifikan mengurangi tingkat konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) daripada kadar konsentrasi partikel debu (Particulate Matter 10 /PM 10).
"Data konsentrasi CO2 dari tanggal 1 Februari hingga 27 April terpantau terus mengalami penurunan dengan laju penurunan 0.2287 ppm/hari, terlebih lagi signifikan setelah diberlakukannya WFH dan PSBB. Rata-rata konsentrasi CO2 saat WFH dan PSBB menurun sekitar 4.6 ppm atau 1.1 persen dari sebelum WFH dan PSBB," kata Siswanto.
Di sisi lain, data BMKG dari Maret hingga 27 April menunjukkan nilai PM 10 yang tidak jauh berbeda saat periode WFH maupun PSBB dibandingkan sebelumnya. Secara umum, konsentrasi rerata harian PM10 berfluktuasi pada rentang 20 - 70 ug/m3, kategori rendah hingga sedang.
"Secara umum, konsentrasi rerata harian PM10 berfluktuasi pada rentang 20 - 70 ug/m3, kategori rendah hingga sedang, jauh di bawah ambang batas 150 ug/m3," kata Siswanto.
Siswanto mengatakan penurunan konsentrasi debu polutan ini dipengaruhi oleh hujan yang turun karena proses rain washing (pencucian atmosfer).Akan tetapi, Siswanto mengatakan pihaknya mencatat peningkatan konsentrasi debu polutan dalam beberapa hari terakhir. Peningkatan konsentrasi debu polutan pada rentang 50 - 65 ug/m3 per hari.
Peningkatan ini disebabkan oleh tidak turunnya hujan seminggu kemarin, seiring dengan berlangsungnya periode transisi dari musim hujan ke musim kemarau di Jakarta dan sekitarnya.
Pembandingan data konsentrasi PM10 antara tahun ini dibandingkan tahun lalu menunjukkan adanya penurunan kerapatan konsentrasi debu polutan 20 sampai 30 persen sejak Februari hingga April ini.
Akan tetapi, Siswanto memprediksi konsentrasi debu polutan akan meningkat mengikuti pola kenaikan gradual debu polutan yang mencapai konsentrasi maksimum pada puncak musim kemarau pada periode Juni sampai September.
Siswanto mengatakan sesuai dengan prediksi BMKG, Jakarta Utara akan memasuki bulan kemarau mulai April dasarian III. Kemudian menyusul wilayah Jakarta Selatan dan sekitarnya di bulan Mei."Pada saat memasuki musim kemarau, penurunan frekuensi dan intensitas hujan diikuti pula oleh penurunan kualitas udara yang terukur dari konsentrasi debu polutan PM10," ujar Siswanto
Siswanto mengatakan temuan penurunan C02 juga sejalan dengan analisis data estimasi satelit OMI dan TROPOMI yang menaksir konsentrasi Gas Rumah Kaca dan Gas Reaktif lainnya seperti CO2 dan NO2.
Sebagaimana kita tahu gas CO2 terbentuk dari pembakaran bahan bakar fosil oleh aktivitas transportasi, penggunaan listrik, maupun dari limbah padat/kayu.
"Sementara sumber utama NO2 pada atmosfer adalah dari emisi buang kendaraan di jalan lalu lintas, pembangkit tenaga listrik, pabrik pemanas, dan dari proses industri," kata Siswanto. (jnp/eks)
No comments:
Post a Comment