Cara ini bahkan disebut bisa mengurangi risiko munculnya wabah corona gelombang dua. Sebab, muncul kekhawatiran dari sejumlah kalangan jika pemerintah Wuhan terlalu cepat melakukan normalisasi kegiatan warga, malah akan menimbulkan wabah Covid-19 gelombang dua di wilayah itu.
Peneliti memperkirakan apabila pemerintah membuka sekolah dan tempat kerja pada Maret, gelombang kedua puncak corona akan terjadi pada akhir Agustus.
"Namun, kota (Wuhan) sekarang harus benar-benar berhati-hati untuk menghindari membuka larangan social distancing karena dapat menyebabkan gelombang puncak kedua. Tetapi jika mereka melonggarkan pembatasan secara bertahap, ini kemungkinan akan menunda dan meratakan puncak corona," ujar Kiesha Prem, peneliti dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, Inggris, yang memimpin penelitian, seperti dikutip Science Daily.
Permodelan berbasis matematika ini lantas mensimulasikan perpanjangan masa penutupan sekolah dan tempat kerja. Apabila pemerintah membuka lockdown pada April, maka peneliti memperkirakan gelombang kedua puncak corona akan muncul pada Oktober.
Pergeseran ini memberi waktu bagi ekosistem kesehatan di China untuk meningkatkan pertahanan terhadap virus corona.
"Langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya telah dilakukan oleh kota Wuhan untuk mengurangi kontak sosial di sekolah dan tempat kerja telah membantu mengendalikan wabah," lanjutnya.
Meski demikian, penulis mengingatkan kalau permodelan yang dipublikasikan dalam jurnal The Lancet Public Health ini memiliki akurasi rendah. Sebab, jumlah orang yang benar-benar terkena corona belum pasti dan ketidakpastian dari durasi rata-rata infeksi corona per orang.
Selain itu, menurut Prem perhitungan ini juga tak bisa serta merta diterapkan untuk kasus di negara lain. Sebab, perhitungan yang dilakukan para peneliti berdasarkan situasi yang berkembang di China.
"Satu hal yang menurut kami bisa diterapkan dimanapun: menjaga jarak fisik sangat berguna dan perlu hati-hati menghapus kebijakan ini untuk menghindari gelombang (wabah) berikutnya, ketika pekerja dan anak sekolah kembali ke rutinitas harian mereka," jelas asisten penulis, Yang Liu, seperti dikutip Live Science.
Dalam studi tersebut, para peneliti mengembangkan model transmisi untuk mengukur dampak penutupan sekolah dan tempat kerja.
Penelitian menggunakan informasi tentang seberapa sering orang-orang dari usia yang berbeda berada di tempat yang sama di berbagai lokasi. Penelitian dilakukan untuk menilai pengaruh efek social distancing dan merebaknya wabah.
Dengan menggunakan data penyebaran COVID-19 di Wuhan dan dari seluruh Cina, penelitian membandingkan efek dari tiga skenario penanganan corona.
Pertama adalah efek ketika libur hanya dilakukan pada saat perayaan Imlek pada Januari lalu. Kedua ketika mereka melakukan praktik untuk menjaga jarak fisik social distancing secara ekstrim, dimana hanya hanya 10 persen tenaga kerja penting yang masuk. Misalnya, petugas kesehatan, polisi, dan staf pemerintah penting lainnya.
Hasilnya, skenario kedua berhasil mencerminkan situasi sebenarnya di Wuhan yang melakukan lockdown sejak 23 Januari. Sementara tanpa penutupan, pengaruhnya sangat kecil terhadap pengurangan wabah.
Sebagai kesimpulan, langkah-langkah ekstrim untuk menjaga jarak sosial mampu mengurangi jumlah orang yang terinfeksi dan mengurangi puncak pandemi pada akhir tahun 2020.
Salah satu profesor di Universitas College London Institute for Global Health menyebut studi ini sangat penting bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan kapan kebijakan social distancing akan diberlakukan. (jnp/eks)
No comments:
Post a Comment