Friday, January 3, 2020

Menguak Mitos Banjir 5 Tahunan Jakarta

Jakarta, CNN Indonesia -- Banjir pada Rabu (1/1) di awal tahun 2020 lalu sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab, tak banjir kali ini menyambangi wilayah-wilayah yang biasanya tak terdampak banjir. Sehingga tak sedikit warga Jakarta yang mengeluhkan kalau baru kali ini daerah mereka terkena banjir.

Akun @danar_25 menyebut baru kali ini rumahnya disambangi banjir setelah lebih dari 25 tahun hidup di Jakarta.

Hal serupa dikeluhkan @nisaavo dan @Rizqifebri. Masing-masing sudah 21 dan 22 tahun hidup di Jakarta dan baru kali ini terkena dampak banjir.


Berdasarkan data BMKG, banjir yang lebih luas kali ini akibat dari curah hujan ekstrem yang mengguyur Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hujan dengan intensitas tertinggi 377 mm/hari tercatat di stasiun BMKG di Kemayoran. Angka ini dua kali lebih tinggi dari batas curah hujan ekstrem yang dipatok BMKG 150 mm/hari.


Tak cuma lebat, hujan ini pun berlangsung lama. Guyurannya tercatat mulai 31 Desember 2019 sekitar pukul 17.00 WIB WIB hingga 1 Januari 2020 sekitar pukul 11.00 WIB.

Mitos soal banjir lima tahunan pun menyeruak di antara warga. Ini adalah mitos yang sudah tertanam kuat bagi warga Jakarta. Mitos ini tak cuma dipercaya warga, tapi juga oleh pejabat negara.

Berdasarkan penelusuran di beberapa media massa, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat
sempat menyebut kalau banjir Jakarta pada Februari 2017 lalu adalah siklus lima tahunan. Ia menyebut banjir parah di Jakarta berulang pada 2017, 2012, 2007, dan 2002.  

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy malah menyebut kalau banjir Jakarta yang lebih luas kali ini sebagai siklus 25 tahunan. Tak cuma Gubernur dan Menteri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga beberapa kali menyebut soal banjir 5 tahun ini.


Jika, dihitung, berarti banjir dengan tingkat keparahan serupa sempat terjadi pada 1995. Hitungan yang berbeda dengan siklus Djarot.

Mitos banjir lima tahunan ini pun tak pelak membuat warga kecele. Sebagai contoh, warga Balekambang yang menjadi korban banjir, mengira tahun ini mereka tidak akan kebanjiran lantaran sudah terjadi banjir parah di daerahnya pada 2018 lalu. Balekambang yang ada di kawasan Jakarta Selatan ini memang berada di daerah aliran sungai Ciliwung.

Bukan siklus 5 tahunan

BMKG membantah banjir Jakarta adalah siklus lima tahunan. Data curah hujan tertinggi pun menunjukkan tidak ada siklus semacam itu. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)

Menanggapi isu banjir lima tahunan, Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) banjir besar yang 'menghantui' Jakarta khususnya bukan karena siklus lima tahunan.

Kepala Subbidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra, siklus lima tahunan itu tidak dapat dibuktikan.

"Siklus 5 tahunan itu tidak bisa dibuktikan. Secara alamiah wilayah kita memang dilimpahi curah hujan tinggi dari Desember-Maret sehingga masyarakat harus selalu waspada," kata Agie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (2/1).


Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam 25 tahun terakhir, curah 1 Januari kemarin memang paling tinggi dengan 377 mm/hari. Disusul curah hujan tahun 2007 dengan 340 mm/hari dan 2015 dengan 277 mm/hari.

1996: 216 mm/hari
2002: 168 mm/hari
2007: 340mm/hari
2008: 250mm/hari
2013: 100mm/hari
2015: 277mm/hari
2016: 100 - 150 mm/hari
2020: 377 mm


Begitupula dari hasil penelusuran data banjir Badan Penanggungan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta. Data BPBD DKI Jakarta yang terdapat di situs Open Data sejak tahun 2014-2018 menunjukkan data genangan banjir terparah di Jakarta terjadi pada 2014, 2015, dan 2016. Tiga tahun berturut-turut, tetap terjadi banjir besar.

Situs Open Data DKI Jakarta belum memberikan catatan terbaru data banjir tahun 2019 dan 2020.

2014: merendam 1136 RW
2015: merendam 955 RW
2016: merendam 905 RW
2017: merendam 660 RW
2018: merendam 371 RW

[Gambas:Video CNN]

Selain itu, dengan membandingkan data BMKG dan data banjir BPBD, ternyata banjir terparah tak selalu terkait dengan tingginya curah hujan. Pada data yang dibeberkan BMKG pada konferensi pers, tahun 2014 tidak tergolong curah hujan ekstrim. Namun, luas banjir di tahun itu tergolong paling besar ketimbang tahun-tahun lainnya. Dengan demikian, ada hal lain yang menyebabkan parahnya banjir ibukota selain masalah tingginya curah hujan.

Tata kota

Senada dengan Agie, organisasi marjinal perkotaan Urban Poor Consortium (UPC) mengatakan banjir Jakarta tak ada hubungannya dengan siklus lima tahunan.

"Tiap tahun terjadi, baik yang skala kecil maupun skala besar. Kalau lima tahun itu hanya siklus, tidak bisa dijadikan patokan," tutur Koordinator Advokat UPC Gugun saat dihubungi, Kamis (3/1).

Gugun menekankan banjir besar terus melanda Jakarta saat ini akibat peruntukan lahan yang berubah menjadi kawasan komersial.


Selain itu, pakar Tata Kota Yayat Supriyanta menekankan pada audit tata ruang dan pembenahan drainase di Jabodetabek. Menurutnya sistem drainase yang sudah usang saat ini masih digunakan untuk menangkal hujan dengan intensitas ekstrem.

Maka dari itu, UPC mendorong pemerintah daerah untuk berani mengambil fungsi lahan dari para 'mafia' tanah yang gemar membangun infrastruktur yang sebetulnya diperuntukan untuk daerah resapan air.

Gugun pun menilai persoalan banjir Jakarta tidak hanya soal lingkungan tetapi ada political will atau keberpihakan. Sehingga menurutnya perlu keberanian dari pejabat publik untuk menindak para penguasa tanah di Jakarta dan sekitarnya. (din/eks)

Let's block ads! (Why?)

No comments:

Post a Comment