Friday, January 3, 2020

Beda Cara Basuki dan Anies Tangani 'Misteri' Banjir Jakarta

CNN Indonesia | Jumat, 03/01/2020 17:58 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Silang pendapat antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono soal banjir yang 'menyerbu' DKI Jakarta sejak malam tahun 2020 menjadi ramai diperbincangkan publik.

Anies tetap bersikukuh bahwa banjir di ibu kota kali ini bukan masalah pada upaya normalisasi sungai Ciliwung seperti yang dituduhkan oleh Basuki.

Menurut Anies, yang terdampak banjir pada tiga hari belakangan ini terjadi di berbagai wilayah, bukan yang sudah dinormalisasi saja. Pada kenyataannya, kata mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, wilayah yang sudah ada normalisasi pun terkena banjir.

Daerah yang dimaksud Anies tersebut adalah Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.

Anies menegaskan banjir ibu kota dapat diselesaikan dengan pengendalian air di daerah hulu dengan membangun kolam retensi seperti embung, waduk atau dam. Dengan begitu, volume air yang bergerak ke arah hilir bisa dikontrol.


Menurut Anies, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka kebijakan apapun yang dilakukan di kawasan pesisir dan Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya.

Sementara itu, Basuki menegaskan bahwa salah satu penyebab banjir di Jakarta karena 17 kilometer dari 33 kilometer kali Ciliwung belum dinormalisasi. Basuki menuding bahwa hal tersebut terjadi karena program normalisasi sungai Ciliwung tidak dilanjurkan.

Basuki membeberkan bahwa yang baru dinormalisasi oleh Gubenur DKI Jakarta selama ia menyusuri sungai Ciliwung baru 16 kilometer. Basuki kemudian mengeluhkan upaya normalisasi makin sulit karena lebar kali Ciliwung saat ini makin sempit.

[Gambas:Video CNN]

Normalisasi Basuki dan Naturalisasi Anies

Sebelum terjadinya silang pendapat antara DKI 1 dan pembantu presiden Joko Widodo itu, Anies pernah 'pamer' program normalisasi sungai dalam mengatas banjir yang kemudian ia ubah menjadi program naturalisasi sungai.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI nomor 31 tahun 2019 tentang pembangunan dan revitalisasi prasarana sumber daya air secara terpadu dengan konsep naturalisasi.

Apa beda normalisasi Normalisasi sendiri merupakan program pengendalian banjir yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI lewat Peraturan Daerah (Perda) khusus ibu kota nomor 16 tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah daerah khusus ibu kota Jakarta.

Dalam Perda tersebut, diamanatkan soal pengendalian banjir dan drainase dengan normalisasi aliran 13 sungai di dalamnya.

Aturan normalisasi kemudian ditegaskan dalam Perda nomor 1 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah 2030 dan Perda nomor 1 tahun 2014 tentang rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.

Lewat dua Perda itu ditafsirkan bahwa normalisasi sebagai kebijakan untuk penyediaan alur sungai dengan kapasitas mencukupi untuk menyalurkan air yang berlebih saat curah hujan ekstrem atau tinggi.


Kebijakan itu dilakukan karena kapasitas sungai yang mengecil akibat penyempitan badan sungai, dinding yang rawan longsor, aliran air yang belum dibangun dengan benar, dan penyalahgunaan untuk pemukiman.

Untuk mendukung kebijakan normalisasi itu, pemerintah pusat sejak tahun 2014 diklaim membantu pemprov DKI untuk mengendalikan banjir.

Beberapa di antaranya pemasangan sheetpile atau batu kali (dinding turap) demi mengeraskan dinding sungai, pembangunan tanggul, membangun sodetan hingga memperlebar dalamnya sungai.

Namun, sejak 2017, program kerjasama antar pusat dan ibu kota disebut berhenti karena program normalisasi berganti nama menjadi naturalisasi. Salah satu penyebabnya disebutkan oleh Jokowi lewat akun instagramnya, Kamis (2/1) kemarin.

Menurut Jokowi, pembangunan prasarana pengendalian banjir pada keempat sungai yang telah menjalankan normalisasi terkendala sejak tahun 2017 karena masalah pembebasan lahan. Empat sungai yang dimaksud Jokowi adalah Sungai Ciliwung, Sungai Krukut, Sungai Cakung, dan Sungai Sunter.

[Gambas:Instagram]

Salah satu kasus yang dimaksud Jokowi adalah terhentinya proyek pelebaran sungai yang dilakukan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane di Sungai Ciliwung terhenti pada tahun 2018 karena lahan yang dibebaskan belum memadai.

Kemudian, kasus pembebasan lahan yang terhenti juga terjadi di Sungai Krukut pada tahun 2018. Padahal warga di Bantaran Sungai Krukut sudah didata, namun tidak berlanjut.

Lantas, bagaimana konsep normalisasi yang diubah menjadi naturaliasi oleh Anies? Lewat wawanacara yang dilakukan oleh CNNIndonesia TV beberapa waktu lalu, Anies mengklaim bahwa program naturalisasi sungai era dia, berbeda dengan era sebelumnya.

Anies berjanji akan merevitalisasi sungai tanpa penggusuran, namun hanya menggeser warga.

Lewat naturalisasi, Anies mengenalkan konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan untuk mengendalikan banjir. Berbeda dengan kebijakan normalisasi, Anies meninggalkan konsep turop beton.

Dalam konsep naturalisasi, Anies mengkritik sistem 'betonisasi' dan lebih menggunakan bronjong batu kali untuk turap sungai.


Imbas penggunaan bronjong batu kali, tebing sungai harus landai. Artinya, untuk membuat tebing, pemerintah Anies harus menyediakan lahan selebar 12,5 meter masing-masing di kiri dan kanan sungai.

Atas dasar itu, lebar lahan yang mesti tersedia untuk daerah sempadan membutuhkan 80 hingga 90 meter. Berbeda dengan normalisasi yang serba beton, Anies mengatakan naturaliasi justru menanami bantaran kali dengan berbagai tanaman.

Naturaliasi, kata Anies, sudah diterapkan di Jepang dan Singapura. Dengan naturalisasi akan tercipta lingkungan yang ramah karena kedepankan sisi ekologis. Pasalnya, dengan batu kali, bukan beton, cacing dan ikan bisa hidup di dalamnya.

Normalisasi yang serba beton akan membawa air secepat mungkin ke laut. Namun naturaliasi memperlambat gerakan air.

Dalam konsep naturalisasi, Anies juga mengenalkan konsep drainase vertikal dengan teknologi zero run off yang berfungsi untuk menampung air hujan agar tak semu mengalir ke selokan dan sungai.

Anies berharap dengan pembangunan 1,8 juta drainase vertikal di seluruh Jakarta (minus Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu) tidak ada lagi terjadi luapan air karena drainase gagal menampung air.

Asa Akan Janji Naturalisasi Sungai ala Anies

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Let's block ads! (Why?)

No comments:

Post a Comment