Sunday, September 23, 2018

Google Modifikasi "Search Engine" untuk Akali Trump?

KOMPAS.com - Menjelang akhir tahun lalu, Presiden AS Donald Trump memberlakukan larangan perjalanan (travel ban) untuk tujuh negara, lima di antaranya merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim.

Para pegawai raksasa internet Google agaknya tidak suka dengan kebijakan tersebut. Mereka pun mendiskusikan cara untuk mengakalinya lewat modifikasi search engine Google.

Rencana para pegawai Google itu diketahui lewat bocoran  serangkaian e-mail internal perusahaan yang belakangan mengemuka.

Cara modifikasi mesin pencari yang didiskusikan di dalamnya adalah dengan mengubah algoritma search agar tak menyaring hasil yang bersifat “Islamophobic dan bias, dari kata kunci seperti ‘Islam’, ‘Muslim’, ‘Iran’, dan sebagainya”

Kata kunci lain yang turut dinilai bisa bermuatan prasangka dan bias termasuk “Mexico”, “Hispanic”, “Latino”, dan lain-lain yang berkaitan.

Meski demikian, saat menanggapi bocoran e-mail terkait, pihak Google mengatakan ide-ide yang didiskusikan di dalamnya tidak pernah benar-benar diimplementasikan di mesin pencarinya.

“Rangkaian e-mail itu hanya merupakan brainstorm ide. Tak ada yang diterapkan,” ujar seorang juru bicara Google, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari Cnet, Minggu (23/9/2018).

Lebih lanjut, sang juru bicara menjelaskan Google tak pernah memanipulasi search engine atau memodifikasi produk apapun untuk mempromosikan pandangan politik tertentu.

“Itu tidak dilakukan di musim kampanye sekarang, ataupun saat pemilu 2016, ataupun setelah Presiden Trump memberikan perintah eksekutif soal imigrasi,” imbuhnya.

Trump tak percaya

Presiden AS Donald Trump sendiri agaknya tak percaya dengan Google. Bulan lalu, dia menuding sang raksasa internet memiliki bias politik dengan memanipulasi search engine besutannya sehingga “meredam suara konservatif”.

Namun, Trump memang dikenal suka melempar tuduhan tak berdasar serta cenderung tidak suka dengan institusi media yang kritis soal kebijakannya yang kerap kontroversial. Dia juga mendapat perlawanan dari perusahan-perusahan teknologi Silicon Valley.

Pekan lalu, misalnya, beredar sebuah video yang memperlihatkan kekecewaan pendiri Google Sergey Brin saat Trump terpilih sebagai Presiden AS.

“Sebagai imigran sekaligus pengungsi, saya sangat sedih dengan pemilu ini dan saya yakin banyak dari Anda juga merasa begitu,” ujar Brin dalam video, berbicara dalam pertemuan antar karyawan Google beberapa hari setelah Trump terpilih.

Baca juga: Google Minta Karyawannya Pulang ke AS Setelah Seruan Anti-imigran Trump

Tahun lalu, CEO Google Sundar Pichai, CEO Apple Tim Cook, CEO Amazon Jeff Bezos, dan 300 orang lain menandatangani surat bersama yang ditujukan untuk Trump.

Di dalamnya mereka menentang kebijakan sang presiden untuk menutup program Deferred Actiion for Childhood Arrivals (DACA) yang melindungi anak imigran.

Travel ban Trump sendiri berlaku untuk Libya, Iran, Somalia, Suriah, dan Yaman, ditambah Korea Utara dan Venezuela. Warga dari ketujuh negara itu yang jumlahnya lebih dari 135 juta pun tak bisa memperoleh visa imigran atau non-imigran sehingga tidak dapat masuk ke AS.

Baca juga: 5 Isu yang Dihadapi Perusahaan Teknologi Setelah Trump Jadi Presiden


Let's block ads! (Why?)

Baca Dong disini

No comments:

Post a Comment