Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir Juli 2018 lalu meminta jajarannya untuk mengevaluasi proyek infrastruktur yang banyak memakai bahan baku impor. Dengan begitu diharapkan pemerintah dapat menghemat devisa dan memperkuat rupiah.
Langkah ini diambil karena Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) terus mengalami defisit. Bank Indonesia (BI) mencatat NPI pada kuartal II 2018 defisit USD 4,3 miliar, membengkak dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai USD 3,9 miliar.
Defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2018 mencapai USD 8 miliar atau 3 persen dari PDB, lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar USD 5,7 miliar atau 2,2 persen.
"Karena kalau pinjaman dari luar dan dan kita membeli barang dari luar itu tidak memberi efek ke transaksi berjalan karena dana devisa kita dapet juga dari luar. Nah kalau kilang di Balikpapan sama. Kita menyelesaikan ekpor kredit semua dari luar selama memerlukan peralatan dari luar, toh memang kita tidak bisa bikin di sini dan dengan pengembalian jangka panjang itu tidak memberikan impact (pada transaksi berjalan)," kata Rini saat ditemui di Pecenongan, Jakarta, Sabtu (18/9).
Sebelumnya diberitakan, proyek RDMP Balikpapan masih dalam status penawaran Engineering, Procurement, and Construction atau bidding EPC. Tender EPC ditargetkan rampung selambat-lambatnya akhir tahun ini.
Proyek RDMP Balikpapan diperkirakan membutuhkan dana USD 4,6 miliar dan dikerjakan dalam 2 tahap. RDMP Balikpapan tahap 1 ditargetkan selesai pada 2021 mendatang.
Adapun RDMP Balikpapan tahap 2 ditargetkan selesai pada 2025 bersamaan dengan GRR Bontang. Kilang Balikpapan yang kapasitas produksinya saat ini 260 ribu barel per hari (bph), akan meningkat menjadi 360 ribu bph setelah dimodifikasi.
No comments:
Post a Comment