Sunday, February 11, 2018

Outsourcing sebagai Modifikasi Akad Salam

Sebuah perusahaan memiliki beberapa bidang garap, misalnya: bidang Human Resource Development (HRD), Marketing Executif (ME), Accountant Public (AP), dan lain-lain. Karena besarnya perusahaan, sehingga menjadi kurang efektif bila perusahaan mengurusi semua bidang tersebut, oleh karenanya perlu pelimpahan wewenang dan tanggung jawab rekrutmen karyawan yang diperlukan oleh perusahaan kepada perusahaan lain.  

Misalnya, untuk menggantikan tugas HRD, maka perusahaan menjalin kontrak kerja sama dengan perusahaan penyedia dan penyalur jasa tenaga kerja (PJTK) untuk keperluan penjaringan tenaga  karyawan perusahaan. Kadang kontrak kerja sama ini juga dilakukan dengan sekolah-sekolah kejuruan yang diharapkan menghasilkan kualifikasi lulusan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Kontrak kerja sama semacam ini disebut dengan outsourcing (alih daya).

Namun dewasa ini, outsourcing lebih sering disematkan untuk pengertian kerja samanya perusahaan dengan perusahaan PJTK atau sebaliknya antara PJTK dengan perusahaan yang menjanjikan pekerjaan. Perusahaan yang membutuhkan jasa disebut sebagai perusahaan inti. Sementara PJTK merupakan perusahaan jasa. Akad antara perusahaan inti yang melimpahkan kontrak ke PJTK ini disebut sebagai outsourcing atau biasa kita kenal dengan istilah proses alih daya. Jadi, uraian ini sangat penting dipahami agar kita tidak salah dalam memahami pengertian outsourcing.  

Jika mencermati alur di atas, maka rukun outsourcing itu terdiri dari hal-hal sebagai berikut:

• Perusahaan inti yang melakukan alih daya

• Perusahaan penerima kontrak alih daya

• Obyek kontrak alih daya

• Jangka waktu kontrak

• Shighat 

Yang patut dipersoalkan dalam praktik afshah-nya outsourcing dalam prinsip kajian fiqih adalah, hubungan antara perusahaan inti dengan PJTK ini. Di sini kita petakan ada dua tipe model hubungan mereka, yaitu:

1. Perusahaan inti menjadikan perusahaan lain sebagai mitra 

Dalam model hubungan seperti ini, maka baik antara perusahaan inti dengan perusahaan PJTK (misalnya), tidak memiliki keterkaitan hubungan sama sekali dalam manajemen. Masing-masing pihak berperan selaku perusahaan independen. Perusahaan inti sebagai perusahaan yang membutuhkan, sementara jasa dari perusahaan PJTK adalah yang dibutuhkan. Hubungan keduanya terjadi sesuai lamanya jalinan kontrak itu terbentuk. 

Dilihat dari lamanya kontrak, ada dua jenis kontrak yang terjadi antara perusahaan inti dengan perusahaan penyedia jasa, antara lain: 

Kontrak dalam jangka waktu terbatas

Kontrak dalam jangka waktu terbatas ini contohnya adalah kontrak antara perusahaan inti produsen batako dengan perusahaan lain penyedia pasir dan toko bangunan penyedia jasa semen. Sifat dari kontrak ini adalah mengikat, yaitu perusahaan inti wajib selalu membeli pasir dan semen dari setiap mitranya selama ia masih beroperasional. Jadi, sifat terbatasnya di sini dibatasi oleh operasionalnya tiap-tiap mitra dan kebutuhan perusahaan inti terhadap jasa keduanya, ditambah dengan kriteria lain yang mereka sepakati, misalnya jenis pasir dan jenis semen yang dipakai. Suatu kontrak bisa berakhir manakala:

Masing-masing pihak memutuskan diri untuk tidak lagi bermitra

Kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan inti tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan mitra. 

Kontrak dalam jangka waktu tidak terbatas

Kontrak dalam jangka waktu tidak terbatas ini contohnya adalah hubungan kemitraan antara pabrik dengan perusahaan penyedia bahan bakar yang mana operasionalnya pabrik sangat tergantung pada ketersediaan bahan bakar yang mereka miliki.

2. Perusahaan jasa mencari mitra dengan perusahaan inti

Perusahaan jasa yang mencari mitra ini umumnya disebut sebagai perusahaan mitra. Perusahaan mitra ini bisa berwujud sebagai balai latihan kerja (BLK), sekolah-sekolah kejuruan atau bahkan perguruan tinggi yang memiliki sistem Link and Match, seperti perguruan tinggi yang mencetak alumni mahir accounting, elektronika, dan lain-lain. Di Indonesia perguruan tinggi semacam ini banyak sekali jumlahnya. Biasanya mereka menawarkan sertifikasi keahlian di bidang tertentu dan penyaluran lulusan. 

Jika mengamati dua praktik outsourcing di atas, maka sejatinya praktik outsourcing dewasa ini adalah bukan masuk kategori syirkah, apalagi masuk kategori syirkah mufawadlah. Mengapa? Karena keberadaan perusahaan jasa ini berdiri secara terpisah dengan perusahaan inti. Ia tidak memiliki andil saham apapun terhadap perusahaan inti. Ia hanya merupakan pelaksana kontrak kerja sama dengan perusahaan untuk memenuhi tugas tertentu yang dibutuhkan oleh perusahaan.  

Meski outsourcing pada dasarnya bukan masuk kategori perusahaan syirkah, namun juga tidak menutup kemungkinan hubungan antara kedua perusahaan inti dan perusahaan jasa ini menjadi sebuah syirkah. Sebuah outsourcing bisa masuk kategori syirkah mufawadlah apabila PJTK (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja) masih masuk dalam lingkaran perusahaan inti yang membutuhkan jasanya. Dengan demikian, ia memiliki saham/andil di perusahaan inti dan memiliki wewenang ikut mengarahkan jalur usaha perusahaan inti. Namun, sepertinya, banyak perusahaan yang lebih memilih tidak melakukan ini, karena rentan dengan resiko di belakang harinya. 

Demikian, tulisan ini hanya sebagai pengantar untuk memahami outsourcing. Adapun, terkait dengan hukum asal outsourcing, sebagaimana keterangan di atas, penulis lebih condong kepada hukum boleh karena bisa dikategorikan kontrak salam, atau bahkan mungkin adalah istishna’iy. Tergantung dari obyek yang dialihdayakan dan transparansi kontrak. Wallahu a’lam.

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Let's block ads! (Why?)

Baca Dong disini

No comments:

Post a Comment