Monday, April 27, 2020

Alasan Vaksin Covid-19 Butuh Minimal 18 Bulan Diproduksi

Jakarta, CNN Indonesia -- Saat ini ada sekitar 77 vaksin Covid-19 sudah dalam pengujian, termasuk enam yang telah mencapai tahap I pengujian pada manusia. Namun, vaksin untuk memberantas penyebaran virus corona SARS-CoV-2 itu tidak akan siap untuk inokulasi massal hingga 18 bulan.

Sejumlah pihak terkait menyampaikan vaksin tidak bisa dibuat dalam waktu yang singkat. Butuh waktu berbulan-bulan hingga tahunan untuk membuat vaksin untuk jenis penyakit tertentu.

Vaksin tidak bisa diciptakan lebih cepat dari waktu yang diprediksi karena pihak berwenang perlu memastikan vaksin tersebut aman. Vaksin harus efektif mengalahkan virus tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diharapkan.


Beberapa vaksin mungkin dapat dikerahkan segera jelang akhir tahun, tetapi vaksin itu akan diberikan secara terbatas. Hanya untuk kategori pasien tertentu yang diizinkan untuk mendapatkannya, termasuk petugas kesehatan yang terus-menerus terpapar virus. Tahapan vaksin

Kepala National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Anthony Fauci memprediksi vaksin Covid-19 membutuhkan wakti 12-18 bulan. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS Uji coba vaksin biasanya dimulai dengan pengujian pada hewan sebelum diluncurkan ke proses tiga fase.

Fase pertama menyuntikkan vaksin ke dalam sekelompok kecil orang untuk menilai keamanan dan memantau respons kekebalan mereka. Fase kedua meningkatkan jumlah orang , sering kali menjadi ratusan dan seringkali termasuk lebih banyak anggota kelompok berisiko untuk uji coba secara acak.

Jika hasilnya menjanjikan, uji coba akan beralih ke uji fase tiga untuk kemanjuran dan keamanan dengan ribuan atau puluhan ribu orang,

Ahli penyakit menular NIAID Emily Erbelding berkata vaksin yang khas membutuhkan waktu antara delapan dan 10 tahun untuk dikembangkan. Sehingga, dia berkata prediksi 18 bulan akan bergantung pada percepatan segala hal yang dibutuhkan untuk membuat vaksin.

Erbelding relawan di setiap fase perlu dimonitor untuk keselamatan. Biasanya, dia berkata respons kekebalan dipantau minimal selama satu tahun

Uji kepada relawan

Mutasi virus corona juga patut diperhatikan untuk mengetahui efektivitas vaksin yang tengah dikembangkan saat ini, apakah cocok untuk memberantas virus corona di masa mendatang atau tidak. (Dok. CNN.com)
Sejumlah otoritas terkait dan ilmuwan percaya bahwa sukarelawan dapat diberikan kandidat vaksin dan kemudian virus corona baru untuk melihat apakah vaksin tersebut efektif dalam menghasilkan respons kekebalan dan mencegah infeksi. Jenis studi itu disebut 'uji coba tantangan' dan itu telah dilakukan sebelumnya.

Dalam studi itu, para peneliti harus menginfeksi ratusan sukarelawan muda yang sehat dengan virus corona baru dan hanya beberapa dari mereka yang akan diberikan vaksin. Sejumlah orang juga akan menerima obat plasebo sehingga hasilnya dapat dibandingkan.

Melansir BGR, sebelum vaksin diberikan, pasien harus diisolasi untuk memastikan bahwa tidak ada yang memiliki penyakit. Setelah vaksin diberikan, sukarelawan juga harus kembali diisolasi hingga masa pemulihan. Para ilmuwan harus melakukan tes rutin dan mengamati evolusi setiap pasien. 

Masalah utama dari studi itu adalah Covid-19 memiliki riwayat dapat membunuh anak muda yang shat dan orang tua. Artinya, relawan yang setuju untuk mengambil bagian dalam penelitian semacam itu sepenuhnya mengetahui apa implikasinya, yakni bisa berakhir dengan kematian. Selain itu, tidak ada jaminan juga bahwa vaksin akan efektif.

Sebuah situs web bernama 1 Day Sooner sudah mendukung uji coba vaksin dan hampir 3.500 orang dari 52 negara telah mendaftar untuk itu. Situs itu menawarkan perbandingan antara penelitian vaksin tradisional dan uji coba tantangan.

Dengan jumlah kandidat vaksin yang meningkat dengan cepat, uji coba tantangan tidak akan mungkin untuk semua obat yang diusulkan. Sebab, metode itu harus mengisolasi ratusan orang selama berminggu-minggu untuk setiap uji coba tantangan vaksin dan memberi dampak negatif bagi rumah sakit.

Vaksin yang gagal

Sebelum disedikaan secara massal, vaksin akan diuji terlebih dulu kepada relawan untuk mengetahui apakah ada efek samping di tubuh manusia (Istockphoto/ Scyther5)

Melansir CNN, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa vaksin telah menyelamatkan antara 2 dan 3 juta jiwa per tahun. Namun, riwayat penemuan vaksin juga dipenuhi dengan kegagalan, di mana orang yang menerima vaksin bernasib jauh lebih buruk daripada mereka yang tidak. 

Pada 1960-an, sebuah tes untuk vaksin RSV (human respiratory syncytial virus) gagal melindungi banyak bayi dari terkena penyakit dan menyebabkan gejala yang lebih buruk.

Pada tahun 1976, ratusan orang mengalami sindrom Guillain-Barré, gangguan langka di mana sistem kekebalan tubuh menyerang saraf, yang menyebabkan kelumpuhan. Kejadian itu setelah mereka menerima vaksin flu babi yang dilarang oleh WHO.

Tahun 2017, pemerintah Filipina mendakwa 14 pejabat negara atas kematian 10 anak yang menerima vaksin demam berdarah. Hasil penyelidikan menyebut bahwa vaksinasi dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan faktor keamanan.

Bioetika Universitass Stellenbosch, Keymanthri Moodley mengatakan percepatan percobaan meningkatkan kemungkinan kegagalan profil tinggi, yang dapat membawa konsekuensi lain yang tidak diinginkan.

Secara historis, batas waktu membuat vaksin untuk patogen lain membutuhkan waktu lebih dari 18 bulan. Pada tahun 2006, vaksin rotavirus dikembangkan selama 26 tahun, di mana masa percobaan memakan waktu 16 tahun.

Sejauh ini, WHO mengatakan proses prakualifikasi tercepat yang pernah dilakukan terjadi pada vaksin Ebola.  Pengembang vaksin Ebola mengatakan butuh waktu 5 tahun hingga vaksin mendapat lisensi. (eks/eks)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)

No comments:

Post a Comment