Tuesday, March 3, 2020

Menakar Alat Deteksi Bandara yang Disebut Jokowi Bisa Meleset

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo mengaku bahwa alat thermal scanner yang ditaruh di bandara untuk mengecek suhu tubuh sebagai salah langkah untuk menangkal masuknya virus corona di Indonesia tidak bisa akurat 100 persen dan bisa meleset.

Jokowi mengklaim meski sudah menjaga ketat Indonesia dari masuknya virus covid-19 itu, namun saat ini sudah ada dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang positif terinfeksi virus corona.

"Kita juga menjaga 135 pintu masuk ke negara kita, baik itu darat, baik itu laut, maupun udara, semuanya dijaga ketat meskipun dalam praktiknya ini tidak mudah.
Karena ngecek dengan yang namanya apa, thermal scanner, itu kadang-kadang keakuratannya juga tidak bisa dijamin 100 persen," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (2/3).


Di tempat yang sama, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa warga Jepang yang menulari dua WNI, tidak terdeteksi positif virus corona covid-19 saat masuk ke Indonesia melalui pintu masuk bandara. Menurut Terawan, hal itu bisa terjadi jika memang WN Jepang dalam kondisi tidak demam.

"Ya kalau dia pas masuk kebetulan tidak panas, ya dengan ilmu apapun tidak bisa (terdeteksi)," ujar Terawan.

Umumnya pengecekan suhu tubuh dilakukan setelah para penumpang turun dari pesawat. Namun Kementerian Kesehatan melakukan pengecekan di pesawat sebelum para penumpang turun untuk mencegah penyebaran virus corona.

Ada dua jenis jenis thermal scanner yang digunakan, yakni thermal gun (thermal yang dapat dipegang dengan tangan. Alat ini digunakan untuk mendeteksi tubuh subuh sebelum turun dari pesawat.

Meski demikian, pemindaian ini memang hanya berupa langkah pencegahan semata. Tidak 100 persen efektif mendeteksi penderita virus corona di Indonesia. Berikut sejumlah alasan mengapa alat itu tidak akurat seperti dihimpun CNNIndonesia.com dari beberapa jurnal.


- Tak semua terpindai

Berdasarkan hasil simulasi model yang dikembangkan oleh badan pengendalian penyakit Eropa (European Centre for Disease Prevention and Control/ECDC) memang tak semua penderita corona bakal terdeteksi pemindai termal.

Berdasarkan uraian jurnal ECDC itu, pendeteksi ini bahkan disebut hanya bisa memindai 44 persen penumpang yang terinfeksi corona saja. Sehingga dari 100 orang, 56 penderita corona bakal lolos. Oleh karena itu disarankan agar pemindaian suhu dilakukan dua kali. Saat penumpang berangkat dan saat mereka tiba di tujuan.

Alasannya, bisa jadi penumpang tidak terdeteksi saat berangkat dari tempat asal, namun ternyata terdeteksi di bandara kedatangan lantaran ia baru memperlihatkan gejala terinfeksi corona saat dalam perjalanan.

Berdasarkan simulasi, 16,7 persen dari terdeteksi saat dalam penerbangan (1 orang) atau ketika mereka dipindai saat mendarat (8 orang). Sedangkan 47 penderita lain tidak terdeteksi sama sekali oleh pemindai suhu di bandara keberangkatan dan kedatangan.

Contoh lain, jurnal ini membuat simulasi perjalanan Beijing-London selama 12 jam. Diasumsikan sensitivitas pemindai di bandara keberangkatan dan kedatangan mencapai 86 pesen.Namun ternyata tetap ada kemungkinan 17 persen penderita tidak terdeteksi pemindai termal selama penerbangan 12 jam itu.

[Gambas:Video CNN]

- Terinfeksi tapi tak bergejala

Alasan mereka bisa lolos karena bisa jadi mereka yang terinfeksi tidak memiliki gejala saat melewati pemindai panas tubuh. Alasannya, mereka yang terinfeksi dan tidak terpindai karena mereka memiliki infeksi subklinis (asimtomatik).

Lantaran terjadi tanpa gejala, hal ini juga bisa membuat mereka tidak segera mencari pertolongan medis saat sudah terinfeksi. Hanya penumpang yang punya tanda infeksi dengan gejala yang terlihat yang bakal terdeteksi oleh alat ini. Misal mereka punya gejala demam saat melewati alat ini. Namun, tidak semua orang yang terdeteksi demam pun positif terinfeksi virus corona. Sebab, pembuktian seseorang positif corona atau tidak mesti melalui penelitian virus lewat tes laboratorium.


- Hanya bisa mengetes panas permukaan kulit

Berdasarkan jurnal PubMed.gov yang dikeluarkan Institut Kesehatan Amerika Serikat, pemindai termal bisa terkecoh menilai suhu tubuh manusia. 

Sebab, pemindai ini hanya bisa mengukur suhu tubuh di permukaan kulit saja, bukan suhu tubuh inti manusia. Sebab, pada beberapa kasus demam, panas tidak terdeteksi di permukaan kulit. Demam hanya bisa terdeteksi jika mengukur bagian dalam tubuh.

Dalam jurnal PLOS One dikatakan kelemahan hanya memindai suhu permukaan tubuh membuat ITIS tidak dapat membedakan panas di tubuh seseorang. Apakah panas karena terpapar terik matahari, memiliki masalah peredaran darah, hingga berada di lingkkungan yang memiliki suhu atau kelembaban yang tinggi.

- Hanya efektif pindai influenza tipe tertentu

Dalam jurnal yang dipublikasikan PLOS OneInfrared Thermal Image Scanners (ITIS) merupakan salah satu alat yang paling polpuler digunakan oleh bandara untuk mendeteksi suhu penumpang yang hendak naik atau turun dari pesawat. 

Namun, hasil penelitian menemukan bahwa ITIS hanya mampu mendeteksi suhu penumpang yang mengidap influenza tipe B. Sedangkan influenza tipe A seperti Flu Burung dan Flu Spanyol yang belum tentu langsung mengalami kenaikan suhu tubuh tidak dapat terdeteksi oleh ITIS.

"Temuan kami menunjukkan bahwa ITIS kemungkinan tidak akan efektif untuk mendeteksi infeksi influenza dengan maksud mencegah masuknya virus ke suatu negara," kutip laporan jurnal itu.


- Pengaruh akurasi alat

Sensitivitas alat yang digunakan untuk memindai juga menjadi salah satu faktor akurasi pengukuran suhu. Beberapa hal yang memengaruhi akurasi pengukuran adalah kondisi suhu ruangan, kelembaban dan jarak.

Jarak pengukuran kamera dengan objek yang dibidik bisa memengaruhi akurasi pengukuran suhu. Suhu ruangan pemindaian dan kelembaban juga bisa memengaruhi pengukuran panas.

Selain itu, kemampuan kamera termal untuk mengukur suhu tubuh seseorang juga dipengaruhi kejelasan fokus kamera dan tingkat resolusi kamera, seperti dilansir Azo Sensors.

- Kurang efektif

Sehingga, jurnal ECDC menyimpulkan pemindaian termal memang tidak efektif mencegah penularan virus corona ke negara lain. Pemindaian panas disebut hanya menjadi tindakan pencegahan semata. Sebab, efektivitas cara ini masih kurang bukti yang kuat.

Sebab, pemindaian hanya bisa dinilai efektif jika semua infeksi bergejala dan sensitivitas alat pindai panas nyaris sempurna, serta masa inkubasi virus pendek. Padahal, masa inkubasi virus corona cukup panjang, 14 hari. Selain itu, virus ini juga punya infeksi tanpa gejala dengan persentase yang lebih tinggi dari SARS.

Sejak era wabah SARS, pemindai dengan kamera termal inframerah telah digunakan. Cara ini dipilih karena dianggap tida (eks)

Let's block ads! (Why?)

No comments:

Post a Comment