Dalam eksepsi yang diwakilkan oleh 5 kuasa hukum dari jaksa pengacara negara, Jokowi menyampaikan jawaban yang serupa dengan eksepsi Kementerian Komunikasi & Informatika (Kemenkominfo) pada pekan sebelumnya (22/1).
Eksepsi menyebut gugatan error in persona (salah pihak), penggugat, yakni Tim Pembela Kebebasan Pers juga tidak berhak mengajukan gugatan (persona standi in judicio) dan dinilai gugatan kabur (obscuur libel).
"Jadi secara garis besar dalam jawaban tergugat II, gugatan para penggugat tidak mempunyai legal standing untuk menggugat. Namun dalam fakta hukumnya siapa pun dapat mengajukan gugatan bila mana terdapat hal yang merugikan terhadap tindakan tersebut," ujar Kuasa Hukum Tim Pembela Kebebasan Pers, Ahmad Fathanah kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/1).
Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet sebagai penggugat memiliki legal standing karena wartawan dan anggota AJI merasakan dampak langsung pemutusan akses internet di Papua dan papua Barat.
"Sehingga AJI dan SAFEnet mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme hak gugat organisasi karena anggota dari para penggugat yang merasakan langsung," ujar Ahmad.
Selain itu dalam jawaban tergugat II yang dibacakan Ketua majelis hakim Nelvy Christin, Presiden RI mendalilkan dalam pokok perkara bahwa objek sengketa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Selain itu, tergugat II juga meminta majelis hakim menyatakan tindakan Presiden RI dan Kominfo perihal pemutusan akses internet, pelambatan dan perpanjangan pemutusan akses bukanlah bukan perbuatan melawan hukum.
Sementara kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers Muhammad Isnur menegaskan dasar gugatan tindakan throttling bandwith yang dilakukan pada 19-20 Agustus 2019, dilanjutkan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan perpanjangan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019 menjadi dasar gugatan.
AJI dan SAFEnet mengajukan tuntutan bahwa Presiden Jokowi dan Menkominfo bersalah karena tidak mematuhi hukum dan melanggar asas pemerintahan yang baik.
"Indonesia telah bertindak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Indonesia adalah negara hukum sehingga tindakan ini bila tidak didasari oleh aturan hukum yang berlaku dan hanya berdasar pada permintaan dari pihak keamanan saja, maka dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum," katanya.
Tindakan pelambatan dan pemutusan akses internet merupakan tindakan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang dilanggar seperti Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 73 yang mengatur tentang pembatasan dan larangan yang hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang.
Kemudian Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 19 ayat 3 Undang - Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
(jnp/DAL)
No comments:
Post a Comment