TANGIS anak itu semakin kencang saat dua perahu telah bersandar di tepi sungai. Dua perahu tersebut mengapit dan diikat pada papan kayu sebagai landasan berdirinya sepeda motor dan penumpang yang akan diangkut.
Ya, dua perahu-itu dimodifikasi sebagai alat penyeberangan bagi warga setelah Jembatan Cipatujah di Desa/Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya ambruk beberapa waktu lalu. Satu persatu warga menaiki perahu penyeberangan sore itu. Beberapa dari mereka juga membawa sepeda motornya.
Namun, tangis si anak tak juga reda kendati sang ibu terus menenangkan dan menggendongnya. Sepertinya anak tersebut ketakutan menaikki perahu yang bergoyang-goyang diterjang arus sungai dan ombak pantai. Lokasi penyeberangan darurat tersebut memang berada di muara Sungai Cipatujah yang berhadapan langsung dengan Pantai Pasanggrahan.
Upaya sang ibu menenangkan anaknya tak kunjung berhasil. Dengan tangisan yang semakin kuat, ibu tersebut akhirnya menaiki perahu denganmenggendong anaknya. "PR" menyaksikan langsung kejadian itu saat mendatangi lokasi penyeberangan pada Kamis 6 Desember 2018.
Tiba di muara, air sungai yang kecoklatan dihajar oleh ombak Pasanggrahan. Tak ayal, ancaman perahu terbalik atau terseret arus mengintai para penyeberang. Namun, risiko itu mesti dihadapi warga demi berangkat sekolah atau mencari nafkah setelah ambruknya Jembatan Cipatujah.
Rian Herdiana (17), siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Cipatujah harus rela bolak balik menyeberang perahu saat berangkat dan pulang menuju sekolah. Rian tinggal di Kampung Jepara, Desa Ciandum, Kecamatan Cipatujah. Akses menuju sekolahnya terputus setelah jembatan runtuh.
Jarak rumah Rian menuju sekolah mencapai sekitar 10 kilometer. Untuk mencapai sekolahnya, butuh waktu kurang lebih 30 menit. "Paling cepat 20 menit, soalnya ngantri (naik perahu), kadang nunggu dulu," ucap Rian di lokasi penyeberangan, Kamis sore. Kondisi itu membuatnya harus bangun lebih pagi agar tak terlambat sekolah. "Kadang berangkat pagi sekali," ujarnya. Sekitar pukul 06.00 WIB, aktvitas Rian dimulai. Dengan membonceng pada temannya yang memakai sepeda motor, dia mulai meluncur menuju sekolah. Bila mujur dan cuaca merestui, perjalanan pulang pergi sekolah itu bisa lebih cepat. Akan tetapi, Rian sempat mengalami tak bisa menyeberangi sungai ketika pulang sekolah karena cuaca buruk. Hujan lebat membuat arus Sungai Cipatujah membesar dan kencang.
Para pengelola perahu pun tak berani menyeberangkan penumpang di tengah arus air yang bergolak. Rian tak kehabisan akal, bersama temannya dia memutar sejauh dua kilometer ke arah hulu sungai mencari satu jembatan gantung kecil yang masih bisa dilintasi. Perjalanan pulang sekolah tersebut molor dua jam dari waktu normal. Rian tiba di kediamannya pukul 17.00 WIB sore. Meski kerap tak tepat waktu tiba di sekolah, pihak sekolah juga masih mentolerir para pelajar yang kerap disebut anak seberang sungai tersebut.
Bahkan, mereka sempat diizinkan tak masuk sekolah sepekan saat banjir dan longsor terjadi di kawasan Cipatujah pada Selasa 6 Desember 2018. Ria menambahkan, para pelajar yang mengenakan seragam sekolah tak dipungut biaya ketika menggunakan perahu penyeberangan. Tetapi, jika tak berseragam mereka mesti merogoh kocek senilai Rp 5 ribu untuk sekali menyeberang. Warga lain juga dikenakan ongkos berkisar Rp 5-10 ribu untuk sekali penyeberangan. Warga menggunakan fasilitas penyeberangan darurat itu bukan hanya demi bersekolah. Mereka pun memakainya untuk aktivitas ekonomi berupa penjualan hasil bumi dan keperluan sehari-hari lainnya.
Ambruknya akses penghubung memang memisahkan Desa Cipatujah di timur jembatan dengan desa-desa di baratnya, seperti Ciandum, Sukahurip, Pameutingan, Cipanas, Ciheras, Ciparay. Enam desa itu masih masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Rudi (32), seorang pengelola perahu penyeberangan asal Cipatujah menuturkan, perahu-perahu yang dipakai merupakan bantuan dinas kelautan dan sewa dari warga. Para nelayan bertindak sebagai tekong atau nakhoda perahu penyeberangan tersebut.
Menurutnya, modifikasi dengan menyatukan atau merangkai dua perahu dilakukan agar alat angkut sementara tersebut tak mudah oleng. Perahu modifikasi itu memiliki kapasitas menampung 13 sepeda motor dan 10 penumpang. Total bobot yang bisa ditampung mencapai satu ton. Meski jarak tempuh penyeberangan hanya 150 meter, waktu rata-rata yang dihabiskan mencapai 10 menit.
"Kalau arus tak tenang bisa mencapai setengah jam," tuturnya. Arus tak tenang terjadi saat cuaca buruk dan air laut pasang. Bila cuaca sangat tak bersahabat, aktivitas penyeberangan dihentikan sementara. Rudi tak menampik memungut bayaran kisaran Rp 5-10 ribu untuk warga dan pengguna sepeda motor sekali menyeberang. Namun, dia mengaku tak mematok besaran tarif tersebut. Besaran ongkos tetap diserahkan kepada kesukarelaan penumpang.
Menurutnya, risiko menyeberangkan warga dan kendaraanya terbilang tinggi. Untuk itu, kehatian-hatian serta pengamatan terhadap kondisi air menjadi keniscayaan. Setiap hari dia bisa mendapat penghasilan rata-rata Rp 700 ribu. Uang itu kemudian dipotong untuk biaya urunan masjid, sewa lahan jalan dan perahu.
"Bersihnya paling (dapat) Rp 300 ribu," ucapnya. Penghasilan bersih tersebut juga kembali dibagi-bagi untuk pekerja lain yang menurut Rudi masing-masing hanya mendapat Rp 40 ribu. Kini, harapan warga mulai muncul setelah bailey atau jembata Cipatujah mulai tersambung. Harapan akan pulihnya aktivitas ekonomi, pendidikan serta tak bertaruh nyawa lagi melintasi arus sungai dan terjangan ombak menggunakan perahu modifikasi.***
Baca Dong disini
No comments:
Post a Comment