'Terus berkarya dan tetap semangat' adalah semboyan ampuh bagi Suwanto, untuk terus bisa berjuang meski terlahir dengan segala keterbatasan fisik. Menjadi tuna daksa sejak balita, pria 38 tahun itu malah sukses mendirikan bengkel motor khusus penyandang disabilitas miliknya sendiri. Simak perjuangannya dan kisah inspiratifnya.
Tunggul Kumoro, Semarang
JawaPos.com – Menjadi penyandang disabilitas tidak pernah menyurutkan Suwanto untuk terus berkarya. Di tengah keterbatasan, ia berupaya berjuang agar 'setara' dengan lainnya. Ditemui di kediamannya, Kampung Jangli RT 08/RW 02, Candisari, Kota Semarang, Sabtu (22/9), Suwanto mengisahkan kehidupannya dulu yang penuh duka.
Polio yang menyerang pada usia delapan bulan setelah kelahirannya, membuat dirinya tak bisa berjalan layaknya orang normal. Kedua kakinya tidak berkembang sebagaimana mestinya, sehingga tak kuat menopang tubuhnya.
"Saya habis SMP itu terus jadi pengangguran. Mau nerusin sekolah jauh, kebentur akomodasi dan terus menerus merepotkan orang itu nggak enak saya. Lagipula orang tua anak difabel jaman dulu belum se-suport sekarang ini. Untuk itu saya ikut pelatihan njahit selama tiga bulan," ujarnya.
Meski sempat masih menganggur usai tiga bulan itu, hasil pelatihannya akhirnya berbuah manis. Ia diterima kerja di sebuah tempat jasa penjahitan walau dengan upah minim pada waktu itu, yakni Rp 35 ribu per bulan.
Suwanto yang tak lantas berkecil hati itu segera memasang targetnya sendiri. Cita-cita ingin bisa membeli dan mempunyai motor sendiri lah yang dijadikan pendorong pribadinya.
"Saya sempet nazar itu, nggak akan potong rambut sampai bisa beli motor. Saya gondrong deh. Akhirnya, nabung, nabung, nabung, kebeli tahun 2004an. Kawasaki Binter Joy double starter dan itu pun belum bisa naik saya karena roda dua," sambungnya.
Hebatnya, secara otodidak dan dibantu tenaga Andi Legiyanto, 33, adik laki-lakinya, Suwanto pun berhasil membuat Binter Joy-nya bertransformasi menjadi kendaraan roda tiga. Namun, menurutnya, keberhasilan ini juga tak lepas dari peran tidak langsung rekannya.
"Teman saya itu kerdil (dwarfisme), tapi dia bisa naik motor. Saya terdorong bikin punya saya sendiri dan saya bisa dari otak-atik motor saya yang memang tua kondisinya. Bongkar pasang sana sini, akhirnya bisa sendiri," terangnya.
Sejak saat itu, ia kerap berkecimpung di ranah perbengkelan juga mulai berani menerima pesanan. Namun, menurutnya, baru sekitar lima tahun belakangan ia dan adik laki-lakinya memantapkan usaha modifikasi motor khusus bagi penyandang disabilitas.
Apalagi, usai ia dan rekan-rekannya mendirikian Komunitas Motor Penyandang Cacat (Compac), usahanya kian dikenal. Walaupun yang namanya orderan itu tak selalu ada, langkahnya ini tetap ia tekuni.
"Bikin itu tergantung orderan. Kadang sebulan nggak ada, tapi kadang sebulan ada dapet dua pesenan. Biasa saya yang desain, ngukur-ngukur setelah menimbang apa yang dibutuhkan oleh si pemesan karena kondisi fisiknya kan berbeda-beda. Lalu adik laki-laki saya yang eksekusi, seperti ngelas dan sebagainya," jelasnya.
Ia sendiri sebenarnya tak mau menarik biaya modifikasi terlalu mahal karena sadar akan kondisi orang-orang senasib. Hanya Rp 3,5 juta untuk motor gigi dan Rp 4 juta buat yang matic. Sudah termasuk spare part dan bahan lain yang diperlukan.
"Kalau matic lebih mahal karena yang dibubut matic lebih banyak. Saya biasa janjikan selesai kurang dari sebulan. Untuk standar dan model bak samping. Juga bisa ada yg buat tempat tongkat atau kursi roda," lanjutnya.
Pemesannya, tak hanya berasal dari dalam kota saja. Beberapa yang datang kepadanya, ada dari Purwodadi, Ambarawa, dan lain sebagainya. "Pernah ada yang pesan dari Sulawesi. Tapi ya karena saya tidak paham begini begitu ngirimnya, ya saya tolak," ujarnya sambil terkekeh.
Selain itu, tak jarang pula bagi Suwanto untuk menjadi montir panggilan di kala kendaraan salah seorang kenalan atau pelanggannya mengalami ketidakberesan mesin. Dirinya biasa menderek manakala motor benar-benar mati atau tidak mau menyala.
"Saya juga melayani reparasi. Kadang kan ada yang kurang sreg juga sama pelayanan bengkel biasa. Sudah biasa misal panggilannya jauh, biasa beli spare part atau bahan juga jauh di Penggaron atau Bubakan. Dan bawa besi panjang enam meter saja sendiri pernah," imbuhnya.
Suwanto pribadi mengatakan bahwa usaha modifikasi motor peyandang disabilitas yang ia namai Bengkel Compac itu bukan bisnis utamanya. Di sisi lain, dirinya juga masih menjalankan jasa jahit pakaiannya.
Intinya, bukan lancar atau tidaknya usaha modifikasi motor yang membuatnya paling senang. Tapi, melihat teman-teman penyandang tuna daksa lain bisa semangat menjalani hidup adalah cahaya kebahagiaannya.
"Saya senang apabila penyandang tuna daksa itu bisa mandiri, tidak terlalu bergantung keluarga ataupun orang lain,” bebernya.
Suwanto bahkan girang setelah melihat rekan-rekannya yang tergabung dalam Compac, yang berjumlah sekitar 20-an bisa touring ke luar kota, bahkan hingga Jakarta. “Itu merupakan suatu pembuktian kalau kami ini juga bisa. Kami sebenarnya pengin ke Bali, tapi sepertinya untuk sekarang belum memungkinkan,” pungkasnya.
(gul/JPC)
Baca Dong disini
No comments:
Post a Comment