Syeikh Wahbah Al-Zuhaily dalam sebuah catatannya mendefinisikan syirkah atau musyarakah sebagai:
المشاركة من حيث المبدأ: هي من شركات الأموال التي تقوم على الاشتراك أو المتاجرة في رأس المال، بقصد تحقيق الربح، في إقامة بعض المشروعات الزراعية أو الصناعية أو العمرانية أو التجارية ونحوها
المشاركة الثابتة- أو الدائمة- هي التي يقصد بها الاستمرار أو البقاء في الشركة إلى حين انتهائها
Artinya: “Syirkah permanen adalah syirkah yang dibangun atas dasar/maksud keberlanjutan atau tetap di dalam jalinan kerjasamanya (pihak yang berserikat) terhitung sejak awal terbentuknya syirkah sampai dengan masa berakhirnya.”
Syirkah permanen merupakan syirkah klasik serta merupakan kebanyakan jenis syirkah yang dijalankan oleh banyak pihak. Di dalam unit perbankan syariah, biasanya syirkah ini dilakukan dengan jalan pihak perbankan melakukan kontrak kerjasama yang diiringi dengan jalan membiayai sekian porsi modal usaha yang dibutuhkan untuk suatu proyek tertentu sebagai pemegang saham perusahaan (stakeholder). Untuk selanjutnya, pihak bank berpartisipasi di dalam manajemen perusahaan dan sekaligus pengawasan proyek bersama-sama dengan mitranya. Adapun terhadap keuntungan dan kerugian usaha, pihak perbankan bersama-sama dengan mitranya turut menanggungnya sebagaimana yang disepakati dalam kontrak usaha.
Meskipun nama syirkah ini adalah syirkah permanen, namun bukan berarti bahwa perjalanan syirkah ini bisa berjalan selamanya. Berakhirnya syirkah ini adalah bergantung pada kesehatan usaha dan sampai selesainya proyek atau sampai waktu yang ditetapkan. Biasanya syirkah jenis ini adalah diterapkan pada pembiayaan proyek skala besar, seperti investasi infrastruktur jalan tol, pelabuhan, bandara, dan lain sebagainya. Akhir-akhir ini wacana pemerintah untuk menanamkan dana haji ke infrastruktur jalan raya adalah besar kemungkinan didasarkan pada jenis syirkah permanen ini. Berakhirnya tentu seiring adanya kebijakan semisal pembongkaran jalan atau sudah tidak diperlukan lagi keberadaan infrastruktur tersebut oleh pemerintah. Dari segi finansial bank, tentu investasi di jalur ini akan sangat menguntungkan. Namun, seiring perkembangan tehnologi informasi, masyarakat condong pada mempertanyakan legalitas hukum dan status keamanannya dan ini adalah suatu kewajaran. Namun, jika ditimbang dari sisi jangka panjang, memang banyak sekali faedah yang bisa didapat secara tidak langsung terhadap sehatnya perbankan.
Dari sisi fiqih turats, syirkah permanen ini merupakan pengembangan dari syirkah ‘inan. Hanya saja, bedanya adalah ada akad istimrar (kontinuitas) atau akad baqa’-nya (permanent) syirkah ini yang sedikit membedakan. Namun substansi pelaksanaan antara syirkah ‘inan dan syirkah permanen adalah sama dan tidak ditemui adanya unsur gharar (tipuan) yang dilarang syara’. Dalam perjalanannya, syirkah ini juga bisa berubah menjadi syirkah mutanaqishah muntahiyah bit tamlik atau syirkah musahamah–kelak akan dibahas setelah kajian ini–khususnya bila dibawa ke pasar saham dan terjadi aquisisi saham atau pergantian kepemilikan.
Hal yang terpenting yang harus diperhatikan adalah aturan main dari syirkah permanen. MUI melalui fatwanya menetapkan adanya empat pokok hal yang harus diperhatikan agar syirkah permanen ini bisa berlangsung dengan baik dan sesuai syara’. Keempat pokok aturan main tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak dalam mengadakan kontrak, dengan tetap mempertimbangkan tiga elemen, yaitu:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak,
b. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak, dan
c. Akad harus disampaikan secara tertulis baik melalui korespondensi maupun melalui sarana komunikasi modern
2. Para pihak harus cakap hukum,yakni dengan memperhatikan hal-hal, antara lain;
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan,
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil,
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyârakah dalam proses bisnis normal
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyârakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja, dan
e. Seorang mitra tidak diijinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri
3. Objek akad meliputi modal, kerja, keuntungan dan kerugian.
4. Biaya operasionaldibebankan pada modal bersama. Namun jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan yang berwenang setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
Selain keempat aturan main di atas, masih ada aturan paralelitas aset, yang isinya kurang lebih adalah setiap mitra syirkah tidak boleh menyimpan aset syirkah untuk tujuan pribadi. Setiap aset yang dijalankan harus berdasar rekomendasi dan sepengetahuan mitra lainnya. Untuk itu, tidak boleh ada satu asetpun yang mengalami perpindahan kepemilikan tanpa sepengetahuan anggota lainnya. Dalam mekanisme perusahaan, biasanya ada rapat komisaris yang berfungsi menjembatani persoalan perpindahan kepemilikan itu. Demikian halnya, sebuah aset tidak boleh mengalami perpindahan kekuasaan tanpa adanya rapat komisaris perusahaan yang dihadiri oleh para mitra pemodal syirkah. Wallahu a’lam.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Baca Dong disini
No comments:
Post a Comment